+ -

Pages

25.6.25

Jakarta, Kemacetan, dan Waktu Hidup yang Terkuras


Kemacetan adalah wajah Jakarta. Ia menjadi identitas dan jati diri yang dibentuk oleh kehidupan warga yang menjadikan kota ini sebagai episentrum segala aktivitasnya.


Setiap hari jutaan orang bergerak dari satu titik ke titik lain dengan berbagai macam ambisi dan harapan. Ada yang bekerja di perkantoran elit SCBD, ada memacu kuda tempurnya untuk melayani pelanggan, dan tidak sedikit yang rela menjadi bagian dari kemacetan agar gaji tidak dipotong.   


Sepanjang Jalan Mampang, Sudirman, Gatot Subroto, atau mana pun, kendaraan berderet seperti gelombang yang mengalirkan manusia menjemput rezekinya. Mengisi jalanan protokol sampai gang-gang tikus di perkampungan kota. Dan sialnya kemacetan terjadi setiap waktu. 


Sementara kita sampingkan dulu perdebatan antara pengguna kendaraan pribadi dan transportasi publik. Toh kalaupun orang-orang yang pakai kendaraan pribadi dipaksakan untuk menggunakan transportasi publik, sistemnya juga belum siap. 


Bagi saya, menggunakan motor untuk melaju dari Depok ke Jakarta adalah pilihan yang masuk akal dan masuk di kantong. Rata-rata perjalanan berangkat ke kantor menghabiskan waktu 1-1,5 jam dengan pengeluaran bensin Revvo 92 (milik Vivo) sebesar 40-an ribu perminggu. Jika transportasi publik dari Depok bisa menawarkan harga yang lebih murah dan/atau waktu tempuh yang lebih cepat, mungkin saya akan pikir untuk beralih. 


Barangkali pertimbangan yang saya gunakan untuk memilih moda transporasi ini juga yang dipikirkan kebanyakan orang sehingga tak ayal Jakarta dinobatkan menjadi kota termacet ke-7 di dunia berdasarkan rilis INRIX 2024 Global Traffic Scorecard. 


Iseng-iseng saya coba hitung bareng Mr ChatGPT terkait waktu yang saya habiskan di jalanan sejak saya menginjakkan kaki untuk bekerja di Jakarta pada 1 Mei 2017 dengan asumsi saya sudah tinggal di Depok sejak itu. 


Hingga 19 Juni 2025 ini berarti saya telah menghabiskan sekitar 5.815 jam, atau setara dengan 242 hari penuh, hanya untuk perjalanan pulang–pergi dari Depok ke Jakarta pada hari kerja. Angka ini dihitung berdasarkan estimasi waktu tempuh rata-rata 3 jam dengan asumsi bekerja selama 5 hari per minggu dan 12 hari cuti tahunan.


Apabila saya tetap tinggal di Depok hingga pensiun pada 1 Juni 2049, total waktu yang dihabiskan di jalan mencapai 22.902 jam atau setara dengan lebih dari 2,6 tahun. Waktu yang cukup banyak untuk melakukan apa saja. 


Belum lagi soal kesehatan. Terpaan polusi asap dan kadar PM2.5 di Jakarta yang melebihi ambang batas aman WHO bisa berdampak pada risiko penyakit jantung, gangguan pernapasan, hingga penurunan fungsi kognitif. Kondisi ini juga berpengaruh menurunkan angka harapan hidup hingga beberapa tahun. 


Jadi, secara tidak langsung, setiap kali kita menghabiskan waktu di jalan, kita juga mungkin sedang mengorbankan usia kita sedikit demi sedikit.


Pagi berangkat kerja diiringi kemacetan, malam hari pulang dalam keadaan capek masih bermacet-macetan. Belum sempat tubuh pulih, besok harus kembali berjuang di jalan yang sama. Dan kondisi ini tidak berubah saat weekend: tetap macet-macetan ke tempat publik untuk healing sebentar, lalu pegal-pegal kemudian. 


Lalu dari dalam benak muncul pertanyaan, apakah saya harus terus hidup seperti ini sampai mati di Jakarta? Atau mungkin apakah cukup tinggal sementara waktu, lalu pulang ke desa menjalani hidup yang lebih tenang?

5 Khairul Arifin: 2025 Kemacetan adalah wajah Jakarta. Ia menjadi identitas dan jati diri yang dibentuk oleh kehidupan warga yang menjadikan kota ini sebagai epise...
< >