+ -

Pages

7.9.21

Lini Masa


Di tengah perbincangan, tiba-tiba orang itu mengambil telepon pintar dari dalam tas kecilnya. Tampak serius ia memandang dan menggulirkan layar yang dipandang. Kadang ia mengerutkkan dahi, sesekali bibirnya menampilkan seutas senyuman. Kemudian orang di depannya melakukan hal yang sama. Mereka saling berbagi senyuman, berbagi kekesalan. 


***

Seorang mahasiswa tampak tak setuju dengan kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam mengatasi pandemi di negaranya. "Kebijakan ini hanya mematikan dan merugikan rakyat kecil. "Sudah jatuh, tertimpa tangga," tulisnya di Facebook sembari melampirkan tautan berita digital surat kabar nasional.


"Segitu gawat kah....???? Ini hanya akal-akal pemerintah saja," balas sebuah akun.


"Sistem ketatanegaraan kita ambyar gara-gara pandemi. Semuanya terbongkar borok-boroknya. Kepentingan bisnis, politik dan agama dimainkan dalam bingkai COVID-19 dan turunannya," timpal yang lain.


"Menurutku keputusan pemerintah sudah bijak. Harus ada rem dan gas kebijakan supaya perekonomian kita tidak hancur," tulis akun lain menengahi. 


"Promo OBAT KUAT GALAKS BAJA KUAT PRIA. Terpercaya sejak 2008. Sudah di akui banyak konsumen. Bahan organik herbal tidak menyebabkan k3b4s dan panas."


***

"Jutaan orang bahkan tidak menyadari bahwa mereka bisa menghasilkan $1.000 per hari tanpa meninggalkan rumah dan anda adalah salah satu dari mereka..." Pesan itu sekelabat muncul di jeda tayangan hipnotis artis yang ia saksikan sore itu. "Inilah saatnya," batinnya. 


Semesta algoritma seakan mengantarkan jalan nasibnya menjadi orang kaya. Memiliki rumah besar, dikelilingi gadis-gadis aduhai, dan yang paling penting sejalan dengan angan-angan hidupnya: tanpa kerja keras, uang yang datang menghampiri kita.


Lalu ia membuat akun. Saat menjelajahi dunia baru ini, bayangan kesuksesan masa depan menjadi semakin jelas searah grafik hijau yang membumbung tinggi. Lalu ia pasang pada satu angka. Tepat satu baris sebelum sampai pada angka itu, seketika grafik turun sedikit menjadi merah. "Ah tipiiis.. "


***

 

5 Khairul Arifin: 2021 Di tengah perbincangan, tiba-tiba orang itu mengambil telepon pintar dari dalam tas kecilnya. Tampak serius ia memandang dan menggulirkan la...

17.7.21

Berita Kematian


Rutinitas yang hampir selalu saya lakukan setiap pagi adalah membuka dan mengecek surat elektronik (surel). Memastikan apakah ada pesan pekerjaan masuk dari kantor, melacak notifikasi pesanan di pasar digital, atau sekadar membaca sejumlah headline surat kabar terbaru.

Di tengah pesan-pesan tersebut seringkali terselip kabar duka dari rekan karyawan. Belakangan intensitasnya lebih banyak dari biasanya. Unit Corporate Communication menyampaikan kabar duka barang satu atau dua pesan setiap harinya.

Entah apakah hanya perasaan saya saja, belakangan ini berita kematian menjadi semakin akrab. Pesan-pesan tersebut berseliweran di sekitar kita melalui perantara berbagai media.

Ketika membuka grup WA, ada kabar duka yang dikabarkan oleh rekan sejawat. Ketika membuka sosial media, pesan bela sungkawa disiarkan oleh sejumlah akun. Ketika membuka kanal berita, kisah sedih ditinggal orang terkasih menjadi konten yang banyak mendapatkan atensi.

Cerita ditinggal orang terkasih memang menjadi hal yang sentimentil bagi semua orang. Dan kini kita merasakan situasi menyedihkan ini terjadi di lingkungan terdekat kita. Seakan mengingatkan bahwa kematian begitu dekat. Kapanpun maut dapat menjemput.

Di televisi, setiap sore kita menyimak paparan dari pemerintah terkait kabar terbaru penanganan Covid-19 di Indonesia beserta jumlah tambahan kasus dan deretan angka-angka yang menyentuh ribuan dan bahkan puluhan ribu. Satu demi satu rekor bermunculan. Per tanggal 15 Juli 2021 ini, tambahan kasus mencapai 56.757 orang. Tertinggi dalam sejarah penanganan Covid-19 di Indonesia.

Angka-angka itu kian membuat kita menjadi masygul saat menyaksikan berita seluruh rumah sakit kewalahan menangani kelonjakan kasus. Tenda-tenda darurat dibangun. Ambulance hilir mudik membawa pasien dan jenazah sambil meraung-raung membelah kemacetan kota. Tenaga kesehatan kelelahan karena dituntut untuk bisa terus melayani pasien. Dan persediaan oksigen makin lama semakin menipis.

Di pemakaman, para petugas berjibaku membuat lobang-lobang. Mengangkat puluhan hingga ratusan peti setiap harinya. Menguburkannya dengan bongkahan tanah. Kemudian kembali ke siklus membuat lobang-lobang tadi. Saban hari rutinitas itu menjadi kian padat dan melelahkan.

Berita-berita itu semakin dekat. Dikabarkan oleh orang terdekat di waktu yang saling berdekatan. Tak ada jeda. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi mereka yang ditinggalkan. Juga terus berdoa, semoga kita selalu dilindungi dari mara bahaya. Dan senantiasa berharap untuk menjadi salah satu orang yang mengabarkan kabar duka itu di masa kacau balau ini.
5 Khairul Arifin: 2021 Rutinitas yang hampir selalu saya lakukan setiap pagi adalah membuka dan mengecek surat elektronik (surel). Memastikan apakah ada pesan peke...

28.2.21

Catatan Keberpihakan Kepada Orang-orang Papa

Adakah Air Mata untuk Orang-orang Tak Bersalah


Bulan ini saya menyelesaikan bacaan dari buku terbaru Linda Christanty yang berjudul Adakah Air Mata untuk Orang-Orang Tak Bersalah? Sebuah kumpulan tulisan yang dihimpun dari media sosialnya. Selama ini ia memang rajin menuliskan pemikiran-pemikiran melalui akun Faceboknya. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dibukukan oleh Penerbit Buku Mojok di awal tahun 2021 dan menjadi salah satu bacaan recommended pembuka tahun.


Ada 36 judul yang tersaji. Meski memiliki bahasan yang beragam, benang merah dari seluruh tulisan di buku setebal 227 halaman ini tidak jauh dari isu Hak Asazi Manusia, isu perempuan, keberpihakan terhadap minoritas, masyarakat miskin, dan kelompok termarjinalkan lainnya. Sebuah dunia yang memang telah digeluti Linda Christanty selama ini.


Pada sebuah artikel yang menjadi judul buku ini misalnya, ia menangkap fenomena orang-orang yang sibuk membicarakan toleransi dan perlunya menghargai keberagaman dalam beberapa tahun belakangan ini. Seolah-olah isu toleransi merupakan hal baru yang tidak diajarkan kepada kita sebelumnya. Padahal sejak bangku sekolah dasar kita telah diajarkan makna Bhineka Tunggal Ika. Dalam bersosialisasi tak jarang kita juga berinteraksi dengan beraneka ragam manusia dengan karakter dan background yang berbeda-beda.


Dalam hal ini, sependapat dengan hal tersebut, saya juga melihat fenomena orang-orang yang menjadi semakin sensitif, terutama apabila berkaitan dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya. Dulu saya merasa gojekan dengan menyinggung agama adalah hal yang biasa dan sering dilakukan ketika ngobrol dengan teman. Almarhum Gus Dur juga sering menyinggung agama saat melontarkan leluconnya. Namun kini, terpeleset pada satu kata saja bisa berujung laporan kepolisian dan berurusan dengan hukum yang berkepanjangan.


Belakangan kita menyaksikan rakyat dipecah belah dan diprovokasi sedemikian rupa menggunakan isu agama. Linda berpendapat bahwa semakin isu agama diaduk, semakin isu kesejahteraan ditutupi dan isu-isu lain membusuk. “Kaum modal jahat memanfaatkan isu agama. Penguasa korup menikmatinya. Politikus busuk bergembira. Media memperbesarnya. Politisasi agama terjadi.” Dan ketika kekisruhan berlangsung, rakyat kecillah yang menjadi tumbal.


Selain menyoroti problem cara beragama tersebut, dalam buku ini pembaca juga akan disajikan perenungan-perenungan Linda terhadap sejumlah hal seperti Imlek, kasus Semanggi, penjara, dan lain-lain. Catatan-catatan tersebut ditulis dengan menarik.  Ditulis secara naratif dan deskriptif yang didukung dengan data-data yang kuat. Saat membaca tulisan tersebut, kita seperti dibawa dalam alur kisahnya dan oleh karena itu, isu-isu tersebut menjadi lebih dekat dengan keseharian kita []

5 Khairul Arifin: 2021 Bulan ini saya menyelesaikan bacaan dari buku terbaru Linda Christanty yang berjudul Adakah Air Mata untuk Orang-Orang Tak Bersalah? Sebuah...
< >